Mendidik dengan Cinta

Oleh: Moh. Rasyad, M.Pd.I

Guru laksana desel dalam andilnya menghidupkan lampu. Begitu lampu hidup yang disanjung kadang merek lampunya bukan kemampuan deselnya. Sebaliknya kalau lampu mati yang disalahkan deselnya.

Guru seringkali tidak diperhitungkan bahkan sering dilupakan saat muridnya pandai, hebat sukses menjadi orang. Tapi begitu muridnya gagal pastilah gurunya yang dianggap salah mendidik, dan mengasuhnya.

Itulah sekelumit ironisme yang sering kita dengar, dan saksikan di masyarakat tentang sosok seorang guru.
Biarkan masyarakat memberikan stigma apapun terhadap guru. Tapi sejatinya guru yang hebat bermartabat adalah guru yang dapat memposisikan dirinya laksana matahari yang memberi kehangatan terhadap bumi tanpa ia mengharap kembali. Guru laksana ibu yang mengasihi anaknya sepanjang masa yang tidak pernah minta balas jasa apapun pada mereka. Ibu tidak pernah menyimpan pamrih atas guyuran kasih sayangnya.

Eksistensi guru mau tidak mau bernasib laksana desel, dan matahari. Ia memberi sesuatu kepada orang lain yang belum tentu mendapatkan balasan setimpal. Guru mendidik anak orang lain dan membesarkan aset orang lain. Di saat muridnya menuai prestasi dan keberhasilan, orang yang pertamakali menikmati hasilnya pasti orang tuanya bukan gurunya.

Apa yang membuat guru tak mengharap balasan apapun?
Jawabannya adalah cinta. Cinta membuat guru memberikan semua yang dimilikinya tanpa agunan dan syarat. Cinta membuat sesorang memberikan yang terbaik kepada orang yang dicintainya. Ia hanya mengharapkan cinta itu sendiri.

Hal ini sejalan dengan yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Muddattsir ayat 6 yang artinya ” Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh balasan yang lebih banyak”.

Allah swt.menganugerahkan segala kebaikan kepada manusia dan makhluk lainnya. Tidak hanya kepada yang beriman saja tetapi yang ingkarpun Allah tetap memberi, tidak hanya kepada hamba yang taat, kepada pendosa yang durhaka Allah tiadak tutup mata untuk melimpahkan kebaikan kebaikan. Ia maha mengetahui bahwa makhlukNya tidak akan mampu membalas sebanding dengan pemberiannya.

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Allah memungut upeti dari oksigen yang kita hidrup setiap hari. Bagaimana jika Allah minta dikruskan biaya atas nikmat2 yang tak terhitung jumlahnya?